Daán yahya/Republika

Peristiwa Historis pada Zulkaidah

Zulkaidah termasuk di antara bulan-bulan haram menurut ajaran Islam.

Oleh: Hasanul Rizqa

"Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah 12 bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa."

 

Demikian terjemahan Alquran surah at-Taubah ayat ke-36. Dalam firman-Nya itu, Allah SWT dengan tegas menetapkan adanya 12 bulan dalam satu tahun. Kemudian, di antara seluruh bulan itu, terdapat empat bulan yang istimewa.

 

"Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar), sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam. Kemudian, Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban" (HR Bukhari dan Muslim).

 

Berdasarkan ayat Alquran dan sabda Nabi Muhammad SAW itu, Zulkaidah termasuk kelompok bulan yang istimewa. Ia bersama dengan Zulhijah, Muharam, dan Rajab disebut "haram" karena pada bulan-bulan itu larangan untuk melakukan maksiat lebih ditekankan. Pada keempat bulan itu pula, umat Islam dilarang mengadakan peperangan walaupun tetap dibolehkan untuk membela diri bila diserang musuh.

dok pexels

Dalam bulan-bulan haram, termasuk Zulkaidah, kaum Muslimin disunahkan untuk memperbanyak puasa sunah. Rasulullah SAW bersabda, "Puasalah pada bulan Ramadhan, tiga hari setelahnya, dan pada bulan-bulan haram" (HR Ibnu Majah). Di samping itu, ibadah umrah juga disunahkan pada bulan ini. Sebab, beliau pernah melakukannya.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Qatadah dari Anas radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi SAW melaksanakan umrah sebanyak empat kali, yaitu umrah ketika kaum musyrikin menghalangi beliau (untuk memasuki Baitullah di Makkah), umrah pada tahun berikutnya (umrah al-Hudaibiyah), umrah pada Zulkaidah, dan umrah saat beliau menunaikan haji.

 

Selain itu, keutamaan Zulkaidah juga dapat dilihat dari berbagai momen historis yang pernah terjadi dalam bulan itu. Setidaknya, ada dua peristiwa penting yang bertepatan dengan salah satu bulan haram tersebut.

 Bani Quraizhah. | DOK WIKIPEDIA

Pengepungan Bani Quraizhah

 

Peristiwa yang memperhadapkan antara kaum Muslimin dan Bani Quraizhah terjadi sesudah tuntasnya Perang Ahzab atau Perang Parit (Khandaq), yang pecah pada bulan Syawal tahun kelima Hijriyah. Baik sebelum maupun selama perang itu berlangsung, suku-suku Yahudi di Madinah telah “bermain mata” dengan pihak kafir Quraisy Makkah. Padahal, mereka sudah terikat perjanjian Piagam Madinah dengan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin. Isinya menegaskan bahwa sebagai unsur Kota Madinah, kabilah-kabilah Yahudi setempat harus bekerja sama dengan Rasulullah SAW dan umat Islam untuk melindungi kota ini dari serangan pihak luar.

 

Di Madinah, ada tiga suku Yahudi, yakni Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Sebelum Rasulullah SAW dan para pengikut beliau hijrah ke Madinah, ketiga kabilah Yahudi itu mengendalikan roda perekonomian kota ini. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak suku-suku Arab, yakni Aus dan Khazraj, mereka sangat berpengaruh di Madinah dan suka mengambil keuntungan dari konflik yang sering terjadi antara Aus dan Khazraj.

 

Begitu menetap di Madinah, Nabi SAW membuat Piagam Madinah sebagai perjanjian yang mengikat antara kaum Muslimin dan unsur-unsur non-Muslim di kota tersebut. Adanya kesepakatan tersebut juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menghargai pluralitas di sana. Karena itu, para ahli sejarah dan ilmuwan masa kini kerap menyebut Piagam Madinah sebagai “konstitusi modern” pertama.

 

Selama Perang Ahzab berlangsung, kaum musyrikin dan sekutu-sekutu mereka dari Makkah dan sekitarnya mengepung Madinah. Sebelum para musuh ini datang, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin telah membangun parit yang mengelilingi perbatasan Madinah. Alhasil, para penyerbu itu terpaksa berhenti dan mendirikan tenda di seberang parit itu. Mereka tidak bisa merangsek masuk ke Madinah dan hanya bisa melepaskan anak panah ke arah area terluar kota tersebut.

 

Dari kalangan Yahudi Madinah, yang mula-mula menggagas pengkhianatan adalah Bani Nadhir. Pemimpinnya, Huyai bin Akhtab, lantas mengajak tetangga Yahudinya, yakni Bani Quraizhah, untuk ikut menusuk kaum Muslimin dari belakang. Mereka berupaya menjalin komunikasi rahasia dengan pemimpin kafir Quraisy dan membocorkan kelemahan-kelemahan pasukan Muslim.

 

Mulanya, Ka’ab bin Asad selaku pemuka Bani Quraizhah ragu-ragu. Apalagi, ia sangat mengetahui bahwa Nabi SAW selalu menghormati Piagam Madinah. Namun, bujuk rayu Huyai membuyarkan keraguannya sehingga mantap mencampakkan piagam perjanjian tersebut.

 Lokasi Perang Ahzab. | DOK WIKIPEDIA

Bani Nadhir dan Bani Quraizhah lalu melancarkan bantuan diam-diam untuk pasukan Quraisy. Jauhnya jarak tempat tinggal mereka dari pusat Kota Madinah dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan pihak musuh Islam.

 

Bani Nadhir mengusulkan kepada pemimpin Quraisy agar menggunakan pelontar batu-besar untuk menggempur Madinah. Namun, eksekusi serangan jarak jauh itu kemudian gagal.

 

Tindakan yang lebih ekstrem dilakukan Bani Quraizhah. Seperti diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam buku Hayat Muhammad, orang-orang Yahudi ini dengan penuh semangat turun dari benteng-benteng mereka. Kemudian, mereka memasuki rumah-rumah Muslimin Madinah yang terdekat dengan maksud menakut-nakuti.

 

Kaum Muslimin yang tinggal dekat benteng-benteng Bani Quraizhah bukannya tanpa perlawanan. Seorang sahabat yang juga bibi Rasulullah SAW, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, berhasil membunuh seorang mata-mata Yahudi Quraizhah yang berkeliling di benteng milik Hasan bin Tsabit, seorang penyair yang setia pada Islam. Padahal, isi benteng itu umumnya adalah kaum perempuan dan anak-anak karena dalam situasi demikian, para lelaki Muslim dewasa sedang pergi berperang.

 

Konspirasi yang dilakukan suku-suku Yahudi itu berujung kehancuran. Di antara faktor-faktornya adalah keislaman Nu’aim bin Mas’ud, seorang tokoh Bani Ghatafan. Suku Arab ini, jauh sebelum Perang Ahzab pecah, sudah berhubungan baik dengan Bani Nadhir. Karena itu, keikutsertaannya dalam memusuhi Nabi SAW dan kaum Muslimin semata-mata digerakkan solidaritas pertemanan, bukan kebencian pada Islam itu sendiri.

 

Pada suatu malam, Nu’aim bin Mas’ud menyadari kesalahannya, yakni berada di kubu musuh Islam. Ia menginsyafi, Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun menyakiti orang-orang Bani Ghatafan dan bahkan telah mengangkat derajat mereka.

Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat (fathan qariiban).

Malam itu juga, Nu’aim memacu kudanya untuk menemui Nabi SAW di Masjid Nabawi. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, ia menyatakan siap diperintah beliau. Maka Rasulullah SAW menginstruksikan agar sahabatnya yang baru saja masuk Islam ini kembali kepada kaumnya dan takut-takutilah mereka bahwa musuh-musuh Islam lemah dan kaum Muslimin kuat.

 

Singkat cerita, Nu’aim yang bersahabat baik dengan para pemuka Yahudi Bani Nadhir berhasil meyakinkan mereka bahwa orang-orang Quraisy akan meninggalkan mereka. Sahabat Nabi ini juga dekat dengan Abu Sufyan, yang ketika itu memimpin pasukan musyrik Makkah. Kepadanya, Nu’aim bilang bahwa orang-orang Yahudi Madinah pasti akan mengkhianati Quraisy.

 

Tentu, dalam menjalankan misinya ini, Nu’aim merahasiakan keislamannya. Karena merasa akan dikhianati, sirnalah rasa percaya (trust) antara kabilah-kabilah Yahudi Madinah dan Quraisy Makkah. Bahkan, Abu Sufyan memutuskan untuk memulangkan seluruh pasukan yang dipimpinnya kembali ke Makkah. Segera sesudah itu, berakhirlah Perang Ahzab.

 

Dari perbatasan, Rasulullah SAW tiba di rumahnya pada waktu zuhur. Beliau hendak mandi di rumah seorang istrinya, Ummu Salamah. Saat Nabi SAW akan menaruh pedangnya, datanglah Malaikat Jibril menemuinya.

 

“Sungguh kalian telah meletakkan senjata? Demi Allah, kami (para malaikat) belum meletakkannya. Keluarlah menuju mereka!" kata Jibril.

 

"Ke mana?" tanya Rasulullah.

 

Jibril menjawab, "Kepada Bani Quraizhah."

 

Melalui informasi dari Jibril ini, Nabi SAW mengetahui adanya pengkhianatan yang dilakukan suku Yahudi tersebut. Maka beliau mengumpulkan kaum Muslimin dan mengarahkan mereka agar bersiap-siap mengepung benteng Bani Quraizhah.

Salah satu buku tentang Perjanjian Hudaibiyah. | dok goodreads

Bahkan, agar cepat sampai pada tujuan, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat untuk mendirikan shalat Ashar hanya ketika mereka sudah sampai di daerah mukim Bani Quraizhah. “Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah,” pesan Nabi SAW.

 

Kendati demikian, ada beberapa sahabat yang kemudian melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan. Sebab, mereka khawatir waktunya akan segera habis. Ada pula beberapa sahabat lainnya yang meneruskan perjalanannya karena yakin sudah ada perintah dari Rasulullah SAW, yakni jangan shalat Ashar kecuali bila sudah tiba di tujuan.

 

Belakangan, para sahabat yang tadi berbeda pendapat ini memberanikan diri untuk menyampaikan semua itu kepada Nabi SAW. Sebab, mereka khawatir apa yang dilakukannya terjerumus pada kesalahan. Namun, Rasulullah SAW tidak menegur dan memarahi seorang pun dari mereka.

 

Tentu saja, Rasulullah SAW mengetahui bahwa bukan hanya Bani Quraizhah yang berkhianat, melainkan Bani Nadhir dan juga Bani Ghatafan—kecuali seorang pemuka mereka, yakni Nu’aim bin Mas’ud. Mula-mula, Nabi SAW memimpjn pasukan Islam untuk mengepung benteng-benteng kediaman Bani Nadhir. Dari dalam benteng mereka, kaum Yahudi itu menghujani Muslimin dengan anak panah dan bebatuan.

top